Kamis, 26 September 2019

AKU DAN SEPATU


Begitu kusukanya puisi sehingga hari itu kuputuskan akan ikut lomba membaca puisi dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI. Lalu kudaftarkan diriku ikut lomba baca puisi pada guru bahasa indonesiaku. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP. Dan kebetulan tidak ada murid lain yang mendaftarkan diri mengikuti lomba membaca puisi itu. Alhasil saya sendiri peserta tunggal mewakili sekolahku.
Setelah beberapa hari latihan, akhirnya saya mendatangi guru saya itu untuk berkonsultasi tentang lomba tersebut. Dan kebetulan sekali lomba tersebut tinggal beberapa hari lagi pelaksanaannya.
Setelah melihat penampilanku. Tidak ada yang salah. Semuanya bagus. Baik itu pengucapan hingga mimikku saat berpuisi. Tapi yang beliau sarankan agar saya mengganti sepatu saya. Atau setidaknya sepatu saya itu disemir mengkilat.
Saya bingung sejenak, apa iya sih sepatu menjadi salah satu titk penilaian. Bagi saya berpuisi itu ya dilihat  dari segi pembacaan, pengucapan, mimic, dan penghayatan. Lalu kenapa puisi dihubungkan dengan “sepatu” tandasku.

Sebenarnya saya sedikit tersinggung dengan komentar pak guruku itu. Apa karena sepatuku yang kucel tak seperti sepatu beliau.
Saat itu saya masih kekanak-kanakan. Saya tidak pernah berpikir bahwa sepatu haruslah sekinclong punya beliau. Lah saaya kan masih anak anak pak. Saya tak pernah berpikir berlarian kesana kemari, injak ini itu bias bikin sepatu kotor. Yang saya tau bermain lari-larian, kejar-kejaran sama teman itu lebih menyenangkan dibandingkan terus menerus memperhatikan sepatu. Apalagi kalau ada teman yang tidak sengaja menginjak sepatuku. Saya tidak pernah ambil pusing kalau sepatuku kotor keinjak teman.
Ada sih beberapa teman sekelasku, kalau sepatunya diinjak dia akan marah seketika lalu melap sepatunya yang keinjak teman lain. Tapi bagi saya tidak. Kalau ada teman yang tidak sengaja menginjak sepatuku, paling ku bilang “sakit tau.. “, lalu kulanjutkan untuk berlarian lagi.
Bagi saya sepatu itu yaa fungsinya untuk diinjak, dijadikan alas kaki. Dijadikan pelindung kaki. Bukan untuk dijadikan sebagai mahkota. Toh yang orang lihat pertama kali itu wajah bukan kaki. Haahaa… itu  menurutku saat maasih lugu.
Adakalanya saya menanggalkan sepatu saya bukan karena menyayangi sepatuku, atau takut sepatuku terkena becek, maklum saat itu jalanan dikampungku sebagian belum beraspal. Tapi karena saya tidak nyaman memakai sepatu kalau sedang basah dan lembab,. Seperti waktu saya masih SD dulu. Saya suka menanggalakan sepatu kalau melihat air got yang jernih. Seketika saya tergiur untuk berjalan diatas got, mencari ikan-ikan  atau udang kecil. Dan saya tidak mau sepatu saya basah.
            Waktu itu saya masih SD itu. Saya tinggalnya di kota bukan di kampong. Lalu saat memasuki masa SMP saya disuruh tinggal dikampung jagain nenek saya. Otomatis kehidupan saya berubah. Kebiasaan saya pun berubah. Dari yang terbiasa hidup dengan barang-barang elektronik menjadi tanpa listrik. Yang dulunya saya terbiasa memandang sekeliling dengan lampu neon saat malam hari,, tiba tiba memakai lampu pelita.
Nah kembali kemasalah perlombaan baca puisi yang akan digelar pemerintah kabupaten dalam rangka HUT kemerdekaan RI. Saat yang kunantikan telah tiba. Aku dengan bangganya ke atas panggung membaca puisi “Antara Krwang dan bekasi” dengan hikmad.
Pengumuman pemenang tidak  langsung diumumkan hari itu. Tapi akan diumumkan seminggu kemudian saat pesta rakyat akan berakhir.
Seminggu berlalu, dan akhirnya tiba waktu yang aku nantikan yaitu pengumuman pemenang keseluruhan lomba-lomba yang sudah diadakan. Aku mendengarkan dengan seksama. Dan… saat diumumkan pemenang lomba baca puisi, tidak kudengar namaku disebut sebagai pemenang ketiga, kedua, dan pertama.
Sedih..?!?! tidak. Kecewa…?!?! Iya. Tapi saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Lalu saya berpikir dengan seksama, mengulas balik apa yang sudah saya lakukan saat lomba tersebut. Apa aku melewatkan satu fase?? Berpakaian sopan, iya. Memberi salam hormat kepada juri dan penonton, iya. Pengucapan dan mimic, perasaanku sudah menghayati dan berapi-api sekali. Salam penutup juga iya.
Lalu saya tetiba teringat sepatuku. Apa karena sepatuku yang kucel itukah yang membuatku tidak juara sama sekali? Haahaa… saya tertawa sendiri. Yaah bias jadi.
Yaa sudahlah. Atau mungkin ada hal lain yang kurang dalam penampilanku saat itu. Atau mungkin memang ada yang lebih bagus berpuisi dariku. Mungkin aku yang terlalu percaqya diri dan begitu yakin akan menjadi juara, padahal tidak satupun. Aku berpikir positif saja deh untuk menghibur diriku kala itu. Dan bersyukurnya saya menjuarai lomba menari. Hitunmh-hitung sebagai obat penghapus duka karena tidak menjadi juara di lomba baca puisi.
Lalu setelah kejadian itu, apakah aku berubah menjadi orang yang begitu mempedulikan penampilan dan sepatu? Heehee… Cuma sedikit.. saya hanya lebih menempatkan sesuatu pada tempatnya. Saat menghaidiri pesta pernikahan atau acara penting saja saya akan care dengan penampilan. Selebihnya tergantung situasi, kondisi, waktu dan tempat.