Minggu, 27 Oktober 2019

TAK ADA YANG MELEBIHI KESEMPURNAAN KASIH SAYANG SEORANG IBU

Sebagai ibu yang memiliki batita itu sungguh menyenangkan sekaligus melelahkan. Melelahkan secara fisik dan psikis. Karena diumur itu adalah masa perkembangan emas sang anak. Sering saya mendengar istilah “seribu hari pertama kehidupan”, yaitu semenjak usia sang anak 0 hari hingga 9 bulan dalam kandungan ibunya hingga mencapai usia 2 tahun diluar kandungan ibunya.

Sang ibu sudah harus mendapat cukup asupan nutrisi yang bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk pertumbuhan sang bayi dalam kandungannya. Semua orang pasti sudah mengetahui  hal itu.

Tapi banyak yang belum mengetahui satu hal ini. Selain itu sang ibu juga harus memiliki perasaan yang tenang dan bahagia, jauh dari masalah yang menyedihkan hati agar si ibu bisa memberikan kasih sayang yang cukup bahkan lebih kepada sang bayinya agar pertumbuhan bayinya optimal.

Penting untuk diketahui buat para ibu dan wanita sebagai calon ibu, bahwa perasaan yang tenang bahagia sangat mempengaruhi proses kehamilan, melahirkan, pasca melahirkan, dan juga perkembangan sel saraf otak sang anak.


Sangat sering saya melihat di lingkunganku seorang ibu yang sedang hamil yang memiliki masalah dalam keluarganya entah masalah dengan suami ataukah masalah dengan orangtua / mertua, berpengaruh pada proses kehamilan hingga saat proses melahirkan. Ada yang bayinya mengidap penyakit atau kelainan. Ada juga proses melahirkannya sulit sehingga harus diberi tindakan medis tambahan.  Dan terkadang ada juga yang berimbas pada masa pasca persalinan yang sulit.

 Tentu banyak yang sudah mendengar baby bluessyndrom. Hal itu sering dialami seorang ibu pasca melahirkan. Sayangnya masih banyak yang mengabaikan hal ini. Syndrome pasca melahirkan ini sangat diremehkan karena gejalanya tidak terlihat.



Yaa,, tentu saja, karena ini sifatnya psikis. Tidak terlihat. Sudah banyak kan yang kita lihat seorang ibu menyiksa bayinya yang nota bene bayi itu mahluk kecil lemah tak berdaya yang belum bisa menyakiti siapa-siapa.

Hal ini sudah  seharusnya menjadi perhatian serius untuk kita sebagai orang-orang terdekat dengannya. Dan karena itu para ibu yang hamil sangat membutuhkan dukungan  dari suami, orangtua/mertua, keluarga dan lingkungan.

Itulah mengapa saya katakan memiliki batita itu melelahkan secara fisik dan psikis, karena setelah sang bayi melewati usia 2 tahun itu lalu beranjak ketiga tahun, si ibu dituntut untuk memperkenalkan sang anak kepada lingkungan sekitar, mengenalkan budaya, agama dan tatakrama.

Betapa beruntungnya seorang ibu dari batita yang hidup di lingkungan yang terdidik dan berpengetahuan, lingkungan yang benar-benar bisa memahami bahwa menjadi seorang ibu itu betul-betul rumit. Disatu sisi seorang ibu haruslah memberi kasih sayang yang melimpah pada anaknya, tapi satu sisi si ibu harus mengajarkan anaknya tatakrama, tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Disitulah titik dilemanya.

Seperti yang pernah saya alami. Disaat saya sedang menghadiri maajelis taklim bulanan di kompleks. Saat ustadz berceramah, anak saya berceloteh dengan suara nyaring khas anak balita. Saya hanya memberi kode dengan jari telunjuk di bibir saya untuk memberitahunya jangan ribut, karena saya tahu anak saya sanagt tidak menyukai kata “jangan” & “tidak boleh”. Karena saya memahami bahwa dia akan meronta-ronta jika dimarahi dengan kata itu. Tapi anak saya masih belum memahami itu. Dalam hati pun saya merasa tidak enak dengan ibu-ibu lainnya. Dan ternyata beneran ada ibu yang merasa terganggu dengan tingkah anak saya. Lalu menegur anak saya. Seketika anak saya menangis meronta-ronta. Menjambak-jambak kerudung yang saya kenakan hingga modelnya tidak beraturan di kepala saya.

Sebagai seorang ibu saya merasa sangat sedih. Ditambah lagi ibu yang menimpali “jangan terlalu memanjakan anak.” Mendengar kata mereka, hati ini bagai teriris. Ibu yang mana sih yang tidak mau anaknya menjadi sopan, santun & mandiri. 

Jangan pernah mengajarkan seorang ibu dengan menghakimi cara si ibu itu salah. Bahwa dengan memarahi, berteriak, itu adalah  cara yang tepat. Setiap ibu memilih Caranya masing-masing dalam mendidik. Saya sering menghadiri sosialisasi kader KB untuk Bina keluarga Balita, penyuluh sering menghimbau kepada para ibu agar mendidik anak itu dengan penuh kasih sayang sejak kecil karena itu adalah nilai yang kelak akan kita terima kembali saat kita menjadi orang tua yang renta. Dan itulah yang sedang saya usahakan, agar kelak saya tidak mengalami hal tersebut.

Tapi disatu sisi, lingkungan social kita menuntut kesempurnaan kita mendidik anak dengan patokan standar nilai mereka sendiri. Tanpa mereka minta pun seorang ibu pastinya sangat mengharapkan anaknya kelak menjadi anak yang sopan, santun, cerdas, taat beragaama, dan berguna bagi bangsa dan mandiri untuk dirinya sendiri. Tapi kembali lagi kita harus memahami anak kita itu masih batita/balita. Karena pada usia ini anak-anak melakukan hal-hal yang mereka inginkan, mereka belum memahami hal yang baik dan hal yang buruk, mereka belum bisa membedakan kedua hal tersebut.


Add caption

Dengan standar nilai mereka menilai cara si ibu ini si ibu itu, tanpa mereka menyadari bahwa yang akan menerima penilaian dari cara mendidik anak itu bukan mereka, tapi si ibu yang bersangkutan. Harusnya lingkungan social juga di-didik untuk menyadari bahwa mendidik anak itu butuh proses yang panjang, tidak instan, tidak seperti nilai yang mereka patok. Usia batita/balita adalah usia yang masih sangat awal bagi batita untuk memahami segala hal diluar dirinya dan keluarganya yang sering dilihatnya dalam rumah. Mereka baru saja memulai proses pengenalan itu.

Kita  sebagai orang dewasa pun yang nota bene berumur puluhan tahun masih sering salah, apalagi mereka batita/balita yang baru saja memulai proses pembelajaran. Menilai cara didik si ibu A atau si ibu B boleh-boleh saja, tapi pikirkan perasaan si ibu yang bersangkutan, karena yang akan menerima penilaian dari cara didik seorang ibu itu bukan anda, tapi si ibu itu sendiri yang akan diterimanya kelak saat anak-anak mereka tumbuh menjadi manusia yang dewasa.

Saya banyak melihat pengalaman beberapa ibu disekitarku yang mulanya kewalahan membesarkan anak-anak mereka yang semuanya laki-laki, yang mulanya penilaian tetangganya bahwa si ibu itu tidak sukses mendidik anak-anak mereka. Namun pada kenyataannya si ibu itu menerima hasil kesuksesannya mendidik anak-anaknya disaat tua. Banyak ibu yang saat anak mereka kecil hingga remajanya sangat menyusahkan ibunya, tapi ketika ibu itu beranjak tua, anak-anaknya membalas kebaikan dan kesusah-payahan ibunya dengan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti yang sudah diberikan oleh ibunya, meskipun memang tiada kasih sayang yang lebih besar selain kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.

        Sangat banyak diantara kita menilai perkembangan anak orang terlalu dini dan tidak objektif. Ya boleh jadi memang saat anak si ibu itu sewaktu kecilnya nakal, manja, tidak bisa diatur, sering mengganggu, atau apalah, tapi itu tidak bisa dijadikan sebuah penilaian sukses atau tidaknya seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik anak. Dan melupakan bahwa ada satu factor yang membuat penilaian kita bisa berubah, yaitu doa dan harapan seorang ibu kepada anak-anaknya yang disertai kesabaran. Hal itulah yang membuat terjalinnya kedekatan emosional yang sangat kuat antara seorang ibu dengan anaknya.



Jadi bagi para ibu yang memiliki batita, semangaat… jangan putus asa, sedikit abaikan kata orang luar yang tidak memahami kita. Kalaupun mereka ada benarnya, adaptasikan perlahan, jangan tergesa-gesa ingin anak memahami secepatnya, biarkan anak berkembang sesuai usianya.  Memang benar banyak nilai-nilai kebaikan harus kita ajarkan pada anak-anak tapi jangan harapkan hasilnya  harus instan.  Beri mereka pemahaman akan nilai-nilai tersebut perlahan mereka akan memahami itu kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar